JAKARTA, Kamis, (28/09/2023) pilarteduh.com – Isu aborsi merupakan salah satu ruang lingkup kesehatan reproduksi yang ramai dibicarakan dan selalu ada pro dan kontra. Indonesia memiliki budaya yang konservatif dengan norma-norma yang kuat tentang kehidupan, keluarga, dan agama. Banyak orang masih memandang aborsi sebagai tindakan yang melanggar nilai-nilai sosial dan agama. Kendati aborsi dilarang, tetapi praktik ini dibolehkan dengan alasan kegawatdaruratan/indikasi medis dan perempuan hamil akibat korban kekerasan seksual atau perkosaan.
Pada korban perkosaan, kehamilan adalah salah satu kondisi dan konsekuensi terberat yang mungkin terjadi, karena dalam keadaan belum berhasil menyembuhkan diri sendiri baik fisik dan mental, korban perkosaan terpaksa menghadapi masalah kehamilan yang tidak direncanakannya atau tidak dikehendakinya (KTD).
Kehamilan akibat pemerkosaan dapat menimbulkan penderitaan yang sangat berpengaruh pada kondisi mental korban yang sebelumnya telah mengalami trauma psikologis berat akibat peristiwa perkosaan tersebut. Trauma ini juga akan berdampak buruk bagi perkembangan janin yang dikandung korban. Oleh karena itu, sebagian besar korban perkosaan mengalami reaksi penolakan terhadap kehamilannya. Selain itu, korban pemerkosaan akan mendapat tekanan tambahan jika harus membesarkan anak hasil perkosaan dan mendapat pandangan negatif dari masyarakat lingkungannya (Yuningsih, Rahmi, 2014). Atas dasar tersebut maka, aborsi kemudian menjadi alternatif pilihan korban bila terjadi kehamilan akibat tindak perkosaan.
Namun sayangnya tidak semua pihak memiliki pemahaman yang benar atau menyetujui aborsi aman adalah bagian dari layanan kesehatan rerproduksi. Masih adanya kasus kriminal dan stigma yang menimpa perempuan yang ingin mengakses layanan aborsi aman dan juga kriminalisasi bagi tenaga kesehatan yang ingin membantu perempuan mendapatkan haknya.
Save All Women and Girls (SAWG) mencatat, kriminalisasi aborsi telah menyulut 108 vonis kriminal di penjuru Indonesia Barat, Tengah, dan Timur dari tahun 2019 hingga 2021. Dari 31 vonis yang ada, perempuan atau remaja yang melakukan aborsi yang mengalami kriminalisasi. Selain itu, 54 penyedia layanan dan pihak yang menjual obat-obatan pemicu aborsi dikriminalisasi, begitu pula 46 orang yang memberikan pendampingan, informasi, dan obat-obatan. Dari 108 vonis tersebut, 51 di antaranya terkait dengan sanksi pidana dalam UU Kesehatan, 36 vonis terkait dengan sanksi pidana berdasarkan UU Perlindungan Anak, dan 21 vonis secara tegas mengacu pada sanksi dalam KUHP.
Dalam salah satu kasus yang terdokumentasi, terdapat korban perkosaan mendapatkan kriminalisasi dengan dasar UU 34/2014 tentang Perlindungan Anak. WA anak perempuan berusia 15 tahun di Jambi, diperkosa oleh kakaknya lalu hamil. Karena menyudahi kehamilannya, WA dituding majelis hakim, “telah melukai anak yang berada di dalam kandungannya” meskipun WA pada saat itu juga masih dikategorikan sebagai anak
Kriminalisasi aborsi justru menutup informasi dan layanan aborsi aman sehingga memaksa perempuan, anak perempuan, dan orang hamil mengakses informasi yang salah. Mis-informasi ini seringkali menyebabkan perempuan terpaksa memilih metode aborsi yang tidak aman sehingga dapat berdampak pada kesehatannya bahkan berakhir pada kematian.
Kriminalisasi aborsi yang membuat orang justru mengakses aborsi tidak aman dan berpotensi kematian dan bertentangan dengan hak untuk hidup (Rights of Life) dan perampasan kehidupan secara sewenang-wenang, tetapi juga merupakan ketidakadilan berbasis gender dimana hanya diderita oleh perempuan, sebagai akibat dari diskriminasi yang diabadikan dalam hukum.
Kriminalisasi aborsi menghilangkan kontrol perempuan terhadap otonomi tubuhnya sendiri sebagaimana ditegaskan dalam General Comment mengenai Hak atas Privasi (Right to Privacy) yang menyebutkan “Hak perempuan atau anak perempuan untuk membuat keputusan otonom tentang tubuh dan fungsi reproduksinya sendiri merupakan inti dari hak fundamentalnya atas kesetaraan dan privasi, yang melibatkan masalah hubungan intim, integritas fisik dan psikologis, dan merupakan prasyarat untuk menikmati hak-hak lainnya”.
Kehilangan kontrol seseorang atas pilihan, akses informasi dan otonomi tubuhnya sendiri akibat kriminalisasi aborsi juga melanggar hak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Hak atas kesehatan berisi hak kebebasan dan kepemilikan, kemerdekaaan mencakup hak untuk memeriksakan kesehatan tubuh dan kepemilikan termasuk hak atas sistem proteksi kesehatan yang menyediakan kesempatan yang sama bagi tiap orang untuk memenuhi standar kesehatan yang memadai dan terjangkau.
Mempidanakan orang dan provider terkait aborsi juga bentuk diskriminasi atas perlindungan hukum karena seharusnya negara memberikan jaminan pemenuhan hak atas kesehatan seksual dan reproduksi alih-alih melanggengkan pasal pidana aborsi.
Mengacu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016, aborsi adalah upaya mengeluarkan hasil konsepsi dari dalam rahim sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Artinya, tindakan aborsi tak bisa digolongkan sebagai pembunuhan.
Namun, perdebatannya bisa melebar tentang penetapan janin sebagai entitas hidup. Kelompok yang kontra terhadap aborsi berpandangan proses kehidupan dimulai saat sperma dan sel telur bertemu. Ada juga yang berpegang pada dalil agama bahwa ruh manusia ditiupkan saat janin berumur 120 hari.
Bila mengacu pada dalil tersebut, sesungguhnya, segala aturan mengenai aborsi aman, baik yang disusun Badan Kesehatan Dunia (WHO) maupun Indonesia, boleh dilakukan. WHO menetapkan batas waktu aborsi aman hingga 14 minggu kehamilan atau 98 hari, sementara PP No. 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi menetapkan batas maksimum hingga 40 hari kehamilan dan pada kebijakan yang baru RKUHP pasal 463 “Korban Tindak Pidana perkosaan atau Tindak Pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 14 (empat belas) minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis”
Meski kementerian kesehatan tak pernah merilis angka aborsi setiap tahun demi menghindari kontroversi yang ujungnya bisa berdampak pada layanan medis, tapi praktik aborsi adalah hal lazim di Indonesia (Guttmacher Institute bekerjasama dengan Yayasan Kesehatan Perempuan pada 2008 dalam laporan ringkas “Aborsi di Indonesia”).
Layanan aborsi aman harus memenuhi prinsip layanan yang berpusat pada perempuan yaitu layanan yang mengedepankan hak perempuan dengan memenuhi 3 aspek penting yaitu pilihan, akses, dan kualitas. Dalam hal ini, pemerintah wajib memastikan ketersediaan berbagai pilihan metode/pengobatan, keterjangkauan akses layanan bagi seluruh perempuan di Indonesia, serta menjaga kualitas layanan dengan menghargai perempuan, tidak menstigma, tidak diskriminatif dan menjaga konfidensialitas.
Tekanan politik dan moral dalam layanan aborsi harus segera dihapuskan jika kita memiliki cita-cita yang sama menghapus penderitaan perempuan akan pemenuhan kesehatan reproduksinya. Ini menjadi harapan dan upaya yang selalu dilakukan dalam memperingati Hari Aborsi Aman Internasional yang diperingati setiap tanggal 28 September, dimana tahun ini mengangkat tema “Bergerak Bersama Ciptakan Dunia Tanpa Stigma dan Kriminalisasi Aborsi”. (jam/rls)
——————————————————————————————————————————
Tentang Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP)
YKP adalah lembaga sosial/nirlaba yang didirikan pada tanggal 19 Juni 2001 di Jakarta oleh para aktivis yang peduli terhadap kondisi kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia dengan cara merespon langsung berbagai isu sekitar kesehatan reproduksi dan hak-hak seksualitas perempuan yang saat ini dianggap kontroversial. Dalam perjalanannya selanjutnya, YKP menjalankan strategi yang sistematis difokuskan pada pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi dan seksualitas perempuan yang masih terabaikan. Info lebih lengkap bisa diakses di www.ykp.or.id