JAKARTA, Selasa (29/08/2023) pilarteduh.com – Suara perempuan adalah bagian penting untuk menunjukan jalannya demokrasi. Perempuan adalah entitas bangsa, yang memiliki hak dan ruang yang setara dalam pembangunan, partisipasi perempuan dan kelompok minoritas secara bermakna merupakan indikator penting untuk menegaskan bahwa demokrasi sejati telah benar-benar dijalankan dengan menunjukkan tidak ada seorangpun tertinggal dalam Pemilu.
Pemilu adalah alat kerja untuk menunjukkan apakah akses, partisipasi, kontrol dan manfaat proses politik telah diperoleh oleh perempuan dan kelompok minoritas yang selama ini hanya menjadi kelompok yang menentukan siapa yang kuat dan berkuasa. Pemilu 2024 merupakan kesempatan bagi perempuan untuk menyuarakan aspirasinya dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan serta memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas dan representasi dalam pembentukan kebijakan publik. Perempuan dapat memilih pemimpin yang akan mewakili kepentingan mereka dan memperjuangkan hak-hak mereka.
Negara telah menyatakan komitmen untuk memastikan affirmative action dimulai dari mandat konstitusi dalam UUD 1945 pasal 28H bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Kemudian dalam Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu, dan Undang-Undang Partai Politik yang secara jelas mengatur soal memperhatikan kuota 30% perempuan dalam proses Pemilu. Kemudian Peraturan KPU tentang kewajiban memenuhi kuota 30% perempuan untuk menjadi peserta Pemilu.
Meskipun dalam tataran implementasi pemenuhan kuota 30% ini belum efektif dan mendapatkan banyak evaluasi dikarenakan pemenuhan masih sangat bersifat teknis administratif saja, sehingga keterwakilan perempuan kemudian diperhadapkan pada persoalan, apakah berkualitas? apakah mampu bekerja? Apakah mampu melakukan perubahan? Dan sejumlah tantangan perempuan dalam partisipasi politik yang tidak mudah sebab partai politik sebagai wadah perempuan berpolitik masih memiliki budaya patriarki yang kuat.
Tantangan lainnya yang harus dihadapi adalah arena juang yang memang belum setara, termasuk sistem Pemilu berbiaya tinggi, praktik money politik yang sangat kuat yang berakibat rentannya perempuan dan kelompok minoritas lainnya terhadap kekerasan ketika berproses dalam Pemilu, baik itu secara verbal, fisik, maupun dilakukan secara online. Kekerasan terhadap perempuan yang nyata-nyata semakin meningkat membuat perempuan memiliki pertimbangan yang sangat kompleks untuk memutuskan terlibat dalam politik.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan komitmen yang tinggi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, partai politik, organisasi perempuan, dan masyarakat sipil. Sinergi kerja ini perlu dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perempuan dan kelompok minoritas untuk berpartisipasi dalam pemilu.
Ada beberapa langkah yang wajib dilakukan oleh Pemerintah yang didukung oleh berbagai pihak, antara lain adalah:
-
Pendidikan Politik Inklusif: Peningkatan pendidikan politik yang mencakup aspek-aspek kesetaraan gender, untuk memberikan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat khususnya kelompok minoritas yang selama ini menjadi kelompok yang terabaikan dalam proses Pemilu. .
-
Peningkatan Akses: Memastikan akses yang setara terhadap sarana dan prasarana pemilihan bagi perempuan, termasuk lokasi pemungutan suara yang mudah dijangkau bahkan bagi kawan-kawan perempuan yang mengalami disabilitas.
-
Partai Politik menyediakan penguatan kapasitas bagi kader partai terutama perempuan untuk mendukung keterwakilan perempuan yang kuat dari sisi komitmen dan agenda kerja parlemen
-
Kampanye Kesadaran: Meluncurkan kampanye nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam Pemilu, dengan melibatkan berbagai lapisan masyarakat.
-
Pembuktian terlaksananya keterwakilan perempuan sesuai mandat konstitusi dan Undang-Undang: Partai politik dan Lembaga Penyelenggara Pemilu wajib memastikan keterwakilan perempuan dalam daftar calon peserta Pemilu dan posisi kepengurusan, minimal sebanyak 30 persen.
-
Kepada Komisi Pemilihan Umum RI agar segera merevisi PKPU 10 Tahun 2023, pada pasal 8 ayat 2 tentang mekanisme pembulatan kebawah yang akan menghambat komitmen partai politik untuk memenuhi kewajiban 30% keterwakilan perempuan.
Dengan meningkatkan partisipasi perempuan dalam pemilu, Indonesia dapat mewujudkan demokrasi yang lebih setara, berkeadilan, dan inklusif. Sebab, perempuan memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa. Oleh karena itu, partisipasi perempuan dalam pemilu sangat penting untuk memastikan bahwa suara perempuan didengar dan diwakili dalam proses pengambilan keputusan. (Jam/rls)
Narasumber:
Direktur AMAN Indonesia – Ruby Kholifah
Direktur Eksekutif Kalyanamitra Lilis Listyowati
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia – Mike Verawati