URGENSI PENGADAAN LAYANAN KESEHATAN SEKSUAL DAN REPRODUKSI YANG DIJAMIN NEGARA

Diposting pada

JAKARTA, Kamis (24/08/2023) pilarteduh.com– Setiap tahun, angka kasus kekerasan seksual semakin meningkat, namun kebutuhan korban kekerasan seakan diabaikan. Korban kekerasan seksual membutuhkan layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif dan dapat dijangkau.

Meskipun kebijakan pemerintah telah ada akan tetapi upaya perlindungan, penanganan dan pemulihan khususnya dari aspek kesehatan korban masih belum maksimal mengakomodir kebutuhan korban, terutama untuk kasus kekerasan seksual atau perkosaan yang mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).

Sejumlah kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah terkait pemenuhan pelayanan Kesehatan Seksual & Reproduksi (KSR) termasuk aborsi aman terkendala implementasinya. Hal ini karena selalu menjadi pro dan kontra sehingga pelaksanaan pelayanan aborsi aman bagi korban perkosaan atau kekerasan seksual masih terhambat atau belum bisa diakses.

Layanan aborsi aman merupakan bagian dari pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) yang juga bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal komponen HKSR berasal dari komponen-komponen HAM; diantaranya hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk mendapatkan privasi, hak untuk mendapatkan pendidikan, dan hak untuk terbebas dari diskriminasi, yang artinya perempuan mempunyai hak untuk bebas dari resiko kesakitan dan kematian karena kehamilan.

“Akibat dari tindak pidana perkosaan, seorang korban perkosaan akan menderita secara fisik, mental, dan sosial. Kehamilan akibat perkosaan akan memperparah kondisi mental korban yang sebelumnya telah mengalami trauma berat akibat peristiwa perkosaan tersebut.” Tegas Direktur Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Nanda Dwinta Sari pada acara diskusi publik bertema Menelusuri Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi Dalam Lanskap Kebijakan pada tanggal 23 Agustus 2023.

“Trauma mental yang berat juga akan berdampak buruk bagi perkembangan janin yang dikandung korban. Oleh karena itu, ada  korban perkosaan yang mengalami reaksi penolakan terhadap kehamilannya dan menginginkan untuk melakukan aborsi.” sambung Nanda.

URGENSI PENGADAAN LAYANAN KESEHATAN SEKSUAL DAN REPRODUKSI YANG DIJAMIN NEGARA
URGENSI PENGADAAN LAYANAN KESEHATAN SEKSUAL DAN REPRODUKSI YANG DIJAMIN NEGARA

Menyikapi hal tersebut, YKP menganggap perlu adanya layanan aborsi aman dimana negara juga harus melindungi warganya yang perlu melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan akibat perkosaan, serta melindungi perempuan dan tenaga medis yang melakukannya tanpa dikriminalkan.

Dalam konteks hukum, aborsi telah diatur di berbagai aturan hukum Indonesia, namun aturan hukum tersebut inkonsisten. Di satu sisi hukum mengatur aborsi sebagaimana dalam pasal 75 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan turunannya, PP Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, PMK Nomor 3 tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan termasuk kebijakan yang baru disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 yaitu Undang-Undang No 17 tahun 2023 tentang Kesehatan.

Menurut dr. Astuti, MKKK dari Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI bahwa penanganan reproduksi ini Kemenkes tidak bisa bekerja sendiri dan harus lintas sektor, untuk itu di dalam turunan UU No 17 tahun 2023, dimasukkan peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta peran dari masyarakat dan keluarga, jadi upaya pencegahan sampai pemulihan ini bisa sangat komprehensif.

Namun khusus permasalahan layanan aborsi, dirasa makin pelik karena kurangnya pemahaman aparat penegak hukum (APH) terkait situasi KTD, minimnya sensitivitas APH terhadap korban kekerasan seksual yang justru menjadikan APH memutuskan pelaku aborsi untuk dipidanakan tanpa melihat akar persoalan yang telah diuraikan sebagaimana fakta di awal.

Ema Rahmawati selaku Kepala Unit PPA Bareskrim Polri menerangkan memang masih menjadi kendala terutama terkait dengan layanan kesehatan seksual dan reproduksi terutama korban kekerasan seksual, karena masih harus menunggu turunan dari Undang-undang yang telah berlaku, karena di teknisnya seperti UU No 17 akan ada di Peraturan Pemerintah (PP). “Semoga PP nanti bisa mengakomodasi semua kebutuhan dalam pelayanan korban kekerasan seksual.” sambung Ema.

Permasalahan ini harus menjadi perhatian semua pihak terutama pemerintah. “Kebijakan yang sudah ada selama ini, belum menjadi terobosan yang menjawab permasalahan kesehatan seksual dan reproduksi, khususnya korban kekerasan.” menurut Ratna Batara Murti selaku Koordinator Advokasi Kebijakan Nasional – Asosiasi LBH APIK Indonesia.

Menurut Ratna, banyak faktor yang menjadikan kebijakan tersebut belum menjawab permasalah kesehatan seksual dan reproduksi, diantaranya adanya tekanan “politik moralitas” yang membelenggu terobosan yang efektif dalam kebijakan selama ini. Bahkan harmonisasi antara Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru masih perlu pembahasan lebih lanjut.

“Yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat dan daerah tentang pelayanan aborsi aman bagi korban kekerasan seksual adalah harus sudah menunjuk tempat pelayanannya, apakah rumah sakit pemerintah atau daerah.” tanggapan dari Retty Ratnawati mewakili Komnas Perempuan. “Sudah waktunya juga merubah sistem pendidikan kedokteran dan sumpah dokter terutama yang berhubungan dengan hak korban kekerasan seksual.” sambungnya. (jam/rls)

 

===========================================================================

Tentang Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP)

YKP adalah lembaga sosial/nirlaba yang didirikan pada tanggal 19 Juni 2001 di Jakarta oleh para aktivis yang peduli terhadap kondisi kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia dengan cara merespon langsung berbagai isu sekitar kesehatan reproduksi dan hak-hak seksualitas perempuan yang saat ini dianggap kontroversial. Dalam perjalanannya selanjutnya, YKP menjalankan strategi yang sistematis difokuskan pada pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi dan seksualitas perempuan yang masih terabaikan. Info lebih lengkap bisa diakses di www.ykp.or.id

Informasi lebih lanjut dapat menghubungi Nanda 0815 8660 2575 (nanda@ykp.or.id), Gizka 021 790 2112  (gizkayu@ykp.or.id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *